Suaradermayu.com – Kasus penipuan proyek Indramayu kembali mencuat. Seorang warga Kecamatan Indramayu berinisial R harus kehilangan Rp 60 juta setelah tergiur janji manis makelar proyek.
Uang yang ia serahkan kepada Erpandi alias Bayu, warga Desa Tugu Lor, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu kini raib tanpa kejelasan.
Awalnya, Bayu mengklaim memiliki akses mendapatkan proyek pemerintah lewat jalur aspirasi politik. Pada 2022, R pun menyerahkan Rp 60 juta sebagai “biaya pengurusan proyek”.
Namun dua tahun berlalu, proyek tak kunjung datang. Bahkan, uang yang telah disetorkan pun tidak kembali.
“Saya beberapa kali tagih, dia hanya janji-janji terus. Tidak ada proyek, uang juga tidak kembali,” ujarnya
Merasa ditipu, R melaporkan Bayu ke Polres Indramayu. Kasus ini kini dalam tahap penyelidikan, dengan pendampingan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH Ghazanfar).
Ketua LBH Ghazanfar, Pahmi Alamsah, mengatakan bahwa laporan korban telah diterima penyidik. Dalam waktu dekat akan digelar gelar perkara untuk menentukan kelayakan kasus naik ke penyidikan formal.
Yang mengejutkan, dalam proses mediasi awal, Bayu justru mengaku bahwa sebagian uang yang diterima telah disetorkan ke salah satu pengurus partai politik di Indramayu.
Menurut pengakuannya, dana itu merupakan “pelicin” untuk memuluskan proyek aspirasi dari seorang anggota DPRD.
“Saat mediasi, Bayu mengaku menyetorkan sebagian uang korban kepada pengurus partai besar. Ini menimbulkan pertanyaan serius soal keterlibatan pihak lain,” ungkap Pahmi.
Meski belum ada bukti formil yang menguatkan, pengakuan ini membuka kemungkinan adanya keterlibatan jaringan lebih luas. Penyidik kini mulai menelusuri aliran dana yang disebutkan Bayu.
Praktik penipuan proyek Indramayu seperti ini bukan hal baru. Di banyak daerah, proyek pemerintah kerap menjadi sasaran empuk para makelar yang menjanjikan akses cepat melalui jalur politik.
Korban umumnya adalah pelaku usaha kecil atau warga biasa yang tergiur janji mendapatkan proyek tanpa proses lelang resmi. Mereka rela membayar “biaya pengurusan” tanpa menyadari risiko hukum.
“Kasus ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkap skema mafia proyek yang selama ini merugikan masyarakat dan merusak tata kelola anggaran publik,” tambah Pahmi.
R mengaku bahwa uang Rp 60 juta itu adalah hasil pinjaman dan tabungan yang ia kumpulkan dengan susah payah.
“Saya cuma ingin uang saya kembali dan pelaku dihukum setimpal. Jangan sampai orang lain jadi korban lagi,” tuturnya.
LBH Ghazanfar berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Mereka juga membuka ruang bagi korban lain yang mengalami kasus serupa untuk melapor.
Sementara itu, Polres Indramayu menyatakan akan menangani kasus ini secara profesional. Meski belum memberikan keterangan resmi, sumber internal menyebutkan bahwa pemanggilan saksi-saksi tengah disiapkan — termasuk pihak-pihak yang disebut dalam pengakuan Bayu.
Jika nantinya terbukti bahwa uang korban benar-benar mengalir ke tangan oknum partai atau pejabat, kasus ini bisa berkembang menjadi perkara yang lebih besar. Potensi unsur korupsi atau gratifikasi pun terbuka lebar.
Kasus ini menjadi alarm bagi seluruh pemangku kepentingan. Sistem proyek aspirasi yang seharusnya menjadi jembatan antara wakil rakyat dan masyarakat, justru membuka celah bagi praktik mafia proyek.
Pemerintah daerah dan DPRD Indramayu perlu memperketat pengawasan serta menciptakan sistem yang transparan. Hal ini penting agar pengadaan proyek tidak lagi jatuh ke tangan makelar.
Peran masyarakat sipil, akademisi, dan media juga krusial untuk mengawasi dan melaporkan setiap dugaan penyimpangan. Dengan demikian, masyarakat tidak lagi menjadi korban janji-janji proyek fiktif yang menyesatkan.
































