Suaradermayu.com – Dalam beberapa hari terakhir, perbincangan seputar permintaan pengosongan Gedung Graha Pers Indramayu oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Indramayu telah menjadi polemik. Sebagian pihak menilai langkah tersebut tergesa-gesa dan dianggap melukai kebebasan pers.
Namun, sebagai Ketua Yayasan Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (YLKBH) Ghazanfar, saya perlu meluruskan bahwa langkah Pemkab Indramayu itu adalah sah secara hukum, konstitusional, dan tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Sebagai bagian dari Barang Milik Daerah (BMD), keberadaan gedung Graha Pers Indramayu telah terdaftar sebagai milik sah Pemkab Indramayu. Hal ini dapat ditinjau dari regulasi yang mengatur pengelolaan barang milik negara/daerah:
1. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
2. PP No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
3. Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan BMD
Dalam kerangka hukum tersebut, setiap barang milik daerah hanya bisa digunakan oleh pihak ketiga apabila terdapat perjanjian resmi yang sah secara administrasi. Tanpa adanya perjanjian hibah, sewa, atau kerjasama pemanfaatan yang tercatat, maka pihak yang menggunakan bangunan tersebut hanyalah pemakai sementara, dan bisa diminta mengosongkan kapan saja oleh pemilik sah, yakni Pemkab Indramayu.
Selama ini, penggunaan Graha Pers oleh organisasi wartawan bersifat pinjam pakai. Berdasarkan hukum perdata dan regulasi keuangan negara, pinjam pakai adalah penggunaan bersifat sementara dan tidak mengalihkan kepemilikan, hak penguasaan tetap berada pada pemberi pinjaman, dalam hal ini Pemkab Indramayu.
Maka ketika Pemkab Indramayu mengeluarkan surat resmi dengan nomor 00.2.5/1700/BKAD tertanggal 16 Juni 2025 yang berisi permintaan pengosongan, hal tersebut adalah bentuk eksekusi administratif yang sah dan tidak dapat dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang.
Langkah Pemkab Indramayu dalam pengambilalihan Graha Pers dilakukan melalui surat resmi yang memberikan waktu dan kesempatan bagi penghuni untuk melakukan pengosongan secara tertib. Tidak ditemukan adanya unsur paksaan fisik, pengusiran paksa, apalagi tindakan represif.
Jika ada pihak yang menilai bahwa pengambilalihan ini adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia atau kebebasan pers, maka perlu dipahami bahwa kebebasan pers dijamin oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, namun tidak berarti wartawan berhak menguasai aset pemerintah secara permanen tanpa dasar hukum.
Kebebasan pers adalah hak untuk menyampaikan informasi, mengkritik, dan menyampaikan pendapat secara bebas. Namun, kebebasan ini tidak serta-merta memberikan hak kepada insan pers atau organisasinya untuk menguasai fasilitas negara tanpa dasar hukum.
Pemkab Indramayu tidak pernah melarang aktivitas jurnalistik, tidak pernah mencabut izin media, atau mengintimidasi wartawan. Bahkan, Pemkab tetap membuka ruang komunikasi dan kolaborasi dengan organisasi pers.
Yang terjadi saat ini hanyalah reposisi pemanfaatan aset negara, yang justru bertujuan agar gedung tersebut bisa digunakan untuk kebutuhan strategis pembangunan daerah dan kemaslahatan masyarakat secara luas.
Sebagai lembaga bantuan hukum yang kerap menangani kasus sengketa aset publik, kami menilai bahwa langkah Pemkab Indramayu ini adalah bagian dari penguatan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Aset milik negara tidak boleh dibiarkan dikuasai oleh segelintir pihak tanpa dasar hukum yang kuat.
Jika bangunan seperti Graha Pers Indramayu dapat dimanfaatkan kembali untuk pusat pelatihan, kantor layanan publik, ruang inovasi UMKM, atau program pengentasan pengangguran, maka hal itu patut didukung, bukan justru digugat.
Peristiwa ini sebaiknya menjadi momentum introspeksi bagi organisasi pers untuk mulai menata kelembagaan secara lebih mandiri, profesional, dan tidak bergantung pada belas kasih pemerintah. Organisasi pers yang independen semestinya dapat mengelola tempat kegiatan sendiri, menyewa tempat, atau mengajukan permohonan hibah melalui jalur yang legal dan transparan.
Pengambilalihan Graha Pers oleh Pemkab Indramayu bukan pelanggaran, bukan pembungkaman, dan bukan represif. Justru ini adalah langkah konstitusional dan sah, yang berdiri di atas dasar regulasi kuat serta kepentingan publik yang lebih besar.
Sebagai Ketua LBH Ghazanfar, saya menyerukan agar semua pihak berpijak pada hukum, tidak menyebar opini yang menyesatkan publik, dan menghormati proses tata kelola pemerintahan. Kritik tetap sah, tetapi harus proporsional, berdasar data dan hukum.
Jangan sampai isu kebebasan pers dijadikan tameng untuk menghalangi hak pemerintah dalam menata aset miliknya demi kesejahteraan rakyat.
Penulis:
Pahmi Alamsah – Ketua Yayasan Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Ghazanfar.
































