Suaradermayu.com – MUI Pusat yang menurunkan tim investigasi kebenaran atas kesesatan Al-Zaytun yg dipimpin Prof. Firdaus Syam pada akhirnya bersikap ambiguitas, tidak tegas dan tidak konsekuen atas fakta dan temuan timnya sendiri.
Hal tersebut dikonkretkan dengan penjelasan tim MUI Pusat, ada fakta baru, kita harus kaji atas adanya dugaan tindak pidana. Harus hati-hati sebab menyangkut hukum ini kan menyangkut banyak orang. Kita tidak ingin merugikan seseorang tapi juga tidak akan membiarkan kalau ada pelanggaran hukum.
Kesimpulan atas penjelasan hasil tim investigasi MUI Pusat dengan teknik tabayun yang dikedepankan dan atau dijadikan landasan pijak untuk mengambil kesimpulan, pada akhirnya bersikap ambigu, tidak tegas dan ragu-ragu.
Tabayun boleh saja sebagai prosedur etika, tetapi metodologi untuk menguji kebenaran, tabayun tidak dijadikan landasan pokok untuk berpijak.
Mengapa? Berdasarkan fakta dan data konkret, misalnya, sudah ditemukan adanya penyimpangan dan atau pelanggaran yang menyangkut soal kesesatan agama (aliran sesat) dan unsur pidana. Fakta dan data konkret itu harus dikunci.
Adapapun bertabayun, untuk mengkonfirmasi atas nama agama, bertanayunlah, boleh sj dilakukan, itu hanya suatu etika saja, bukan untuk menguji fakta kebenaran, karena pastilah Panji Gumilang tidak akan mengaku dan atau pasti membantah jika dibilang sesat dan seterusnya. Itu kelemahan dalam teknik tabayun untuk menguji fakta kebenaran.
Masa iya, jika seseorang maling atau berkorupsi, terus kita tanya, benarkah anda nyolong.atau berkorupsi, pasti jawabnya: Tidak!.
Tim MUI Pusat, menjadi cengeng, akhinya seolah mengkhawatirkan lembaganya dan atau tim pencari faktanya dengan mengatakan: jangan merugikan seseorang.
Logika dan akal waras yang dibangun menjadi berantakan, ngawur bin naif, karena bagi Zaytun dan NII nya, pasti merasa dirugikan atas tindakan hukum jika dilanjutkan. Dijamin 100 persen mereka mengatakan dirugikan.
Bagi negara dan bangsa dan umat beragama, juga pasti merasa dirugikan karena Zaytun dianggap sesat dan berbahaya bagi bangsa dan negara, jika Zaytun dibiarkan hidup menggurita.
Jadi, pasti ada yang merasa dirugikan, sehingga tim MUI Pusat tidak perlu mempertimbangkan baik buruknya dengan apologi naif seperti itu.
Tim MUI Pusat, cukup memberikan rekomendasi pada APH atau Polres atau Polda atau Mabers Polri atas temuan fakta lama dan terbarunya soal yang ada di Zaytun. Biarkan APH yang akan melakukan penyelidikan dan penyidikan atas rekomendasi MUI Pusat yang indikasi kuatnya ada penyimpangan, aliran sesat dan ada unsur pidananya. Cukup sampai disitu, lantas mengawal kejelasan atas APH bersikap dan bertindak atas dasar hukum, kepastian hukum itu sendiri. Bukan mengatakan, ini harus hati-hati dan seterusnya.
Biarkan itu otoritas APH, terbukti atau tidak soal penistaan agama dan atau aliran sesat, sudah bukan lagi wilayah MUI Pusat. APH juga pasti sangat hati-hati, jika menutup mata dengan apologi dan alibi tidak cukup bukti, akan berahdapan dengan publik dan akan menjadi kegaduhan nasional yang bisa menjadi bencana bagi bangsa dan negara atas nama tindakan agama.
Kasus dan gaduh nasional soal Zaytun, sebenarnya MUI Pusat sdh pernah menurunkan timnya sekitar 15 tahun yang lalu, kemudian pd th 2022, MUI Pusat melakukan kajian dan menurunkan tim lagi.
Jadi sudah amatlah jelas dan konkret, waktu itu benar ditemukan adanya penyimpangan dalam praktek keagamaan. Nah sekarang, MUI Pusat kembali menurunkan tim investigasinya, eh malah menjadi mentah akhirnya, dan ambigu dlm kesimpulan akhir. Ada apa ini dengan Zaytun?
Pembacaan publik sangat sederhana, jangan-jangan ada inteversi dari kekuasaan yang membekingi, atau jangan-jangan MUI Pusat dibayang-bayangi ketakutan dan atau kekhawatiran lembaganya dan atau personal timnya, karena kita semua paham, bahwa Zaytun dipelihara negara, pinjam istilah Al Chaidar, mantan NII KW-9 pimpinan Nabi Panji Gumilang. Pahal bukan negara tapi kekuasaan, karena jika seperti yang dikatakan Al Haidar, berarti alat ( aparatus) negara sudah menjadi alat kekuasaan. Ini bencana bagi bangsa dan negara.
Kita tunggu keberanian MUI Pusat. Semoga tidak takut dengan bayang-bayangnya sendiri, karena Panji Gumilang (Al-Zaytun) menerapkan pola politik bayang-bayang, dan selama ini berhasil memainkan politik bayang-bayang tersebut yang mau mencoba mengusik Al-Zaytun.
Kita tunggu MUI Pusat, karena dengan Kemenag tidak perlu kita berharap, sama dengan mimpi di siang bolong, jija berharap soal Zaytun pada Kemenag.
Penulis 0’ushj.dialambaqa adalah Penyair, Peneliti dan Direktur PKSPD (Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah), dan Accountant Freelance. Tinggal di Singaraja. Kontak: 081931164563. Email: jurnalepkspd@gmail.com