Suaradermayu.com – Pagi itu, Rabu (5/11/2025), udara di Desa Sukaslamet, Kecamatan Kroya, terasa berat. Tidak ada hiruk pikuk biasa di sekitar balai desa tak terdengar suara perangkat yang sibuk melayani warga, tak tampak lalu-lalang masyarakat mengurus surat.
Yang tampak justru sebaliknya: pintu kantor desa tertutup rapat dengan papan kayu yang dipaku melintang, dan sehelai kain putih membentang di depannya bertuliskan tegas, “Kantor Desa Disegel oleh Masyarakat.”
Bagi warga Sukaslamet, penyegelan itu bukan sekadar aksi spontan. Ia adalah simbol dari kekecewaan panjang yang menumpuk—kemarahan yang tak lagi bisa ditahan terhadap rencana aktif kembalinya Kuwu Rajudin, sosok yang kini menjadi pusat polemik di desa yang dulu tenang itu.
“Ini Murni Suara Warga”
Koordinator aksi, Duri, yang hari itu berdiri di depan balai desa bersama puluhan warga, berbicara dengan nada datar tapi mantap.
“Balaidesa Sukaslamet disegel masyarakat karena kami menolak aktif kembalinya Kuwu Rajudin. Ini murni suara warga, bukan kelompok mana pun,” ujarnya.
Menurutnya, aksi ini tidak terkait dengan kelompok Sukaslamet Bersatu yang sempat muncul di demonstrasi sebelumnya. Warga turun langsung karena merasa diabaikan—baik oleh pemerintah desa maupun pemerintah kabupaten.
“Dari pagi balaidesa kosong. Tidak ada kejelasan. Kami hanya ingin pemerintah mendengar,” tambahnya.
Surat Pemakzulan yang Membingungkan
Sementara warga bergerak di lapangan, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) bersama Camat Kroya disebut telah mengirimkan surat pemakzulan Kuwu Rajudin ke Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Indramayu. Namun, langkah itu bukannya meredakan, justru memperkeruh suasana.
Duri menuturkan, warga yang sempat mengawal pengiriman berkas itu dibuat bingung karena surat tersebut tidak boleh dibuka.
“Tadinya kami dijanjikan akan diberi salinan, tapi belum sempat difotokopi, suratnya sudah diambil lagi sama ketua BPD,” katanya.
Bagi masyarakat, kejadian itu semakin mempertegas dugaan bahwa proses administrasi dan komunikasi antar lembaga tidak transparan.
“Yang kami inginkan sederhana, kejelasan dan keadilan,” ujar seorang warga yang ikut menjaga area penyegelan.
Balai Desa Jadi Simbol Perlawanan
Kini, Balai Desa Sukaslamet bukan lagi sekadar tempat administrasi. Ia telah menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakpastian.
Spanduk penolakan berkibar di depan gedung, sementara warga bergantian berjaga di sekitar lokasi. Bagi mereka, segel kayu di pintu kantor bukan sekadar penghalang, melainkan pesan keras bagi pemerintah agar tak menutup mata.
“Kalau pemerintah diam saja, warga bisa kehilangan kepercayaan,” ucap salah satu tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya.
Pernyataan itu menggambarkan suasana batin warga—lelah menunggu, tapi tak mau menyerah.
Menanti Langkah Pemerintah
Hingga malam tiba, kantor desa masih tertutup rapat. Aparat keamanan tampak melakukan patroli ringan untuk memastikan situasi tetap kondusif.
Namun, keresahan tetap terasa. Warga menanti keputusan yang bisa menjawab dua hal mendasar: kepastian hukum dan kepastian moral bagi pemimpin mereka.
Suaradermayu.com masih berupaya mengkonfirmasi Kuwu Rajudin terkait penyegelan kantor desa dan penolakan warga tersebut. Namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari yang bersangkutan. (Mashadi)
































