Suaradermayu.com – Udara siang itu terasa panas. Matahari menembus awan tipis di atas Balai Desa Manggungan, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. Namun teriknya hari tak menghalangi semangat ratusan warga yang berduyun-duyun datang, membawa poster dan pengeras suara.
Di balik wajah yang tegang dan suara yang lantang, ada satu pesan yang ingin mereka sampaikan: “Kami hanya ingin kejelasan, jangan tutupi dana desa kami.”
Itulah seruan yang menggema pada Selasa, 28 Oktober 2025 — hari yang mungkin akan diingat lama oleh warga Manggungan.
Berawal dari Rasa Ingin Tahu yang Tak Terjawab
Nata Ardiansyah (35), seorang warga yang dikenal aktif dalam kegiatan masyarakat, menjadi salah satu koordinator aksi. Dengan pengeras suara di tangan, ia memimpin seruan agar Kepala Desa Manggungan membuka seluruh data keuangan desa.
“Awalnya kami tahu dari berita online. Ada dugaan penyimpangan dana desa. Kami gelisah, karena selama ini tidak pernah dijelaskan kepada warga,” ujar Nata dengan nada campuran antara marah dan kecewa.
Menurutnya, warga sudah lama mempertanyakan penggunaan dana desa, baik untuk pembangunan fisik maupun kegiatan BUMDes. Namun, setiap kali mereka menanyakan, jawaban yang didapat selalu “nanti akan dijelaskan”. Penjelasan itu tak kunjung datang.
Ketika Kepercayaan Mulai Retak
Seiring berjalannya waktu, kepercayaan warga terhadap pemerintah desa mulai memudar. Mereka tak tahu berapa besar dana yang masuk ke desa, untuk apa dipakai, dan siapa yang mengerjakan proyek pembangunan.
“Yang kita tahu cuma ada pembangunan, tapi papan informasinya tidak jelas. Kadang tulisannya sudah pudar, kadang malah tidak ada sama sekali,” keluh salah satu warga yang ikut berorasi.
Kecurigaan semakin kuat ketika beberapa warga menemukan informasi dari media daring yang menyinggung dugaan penyimpangan dana desa Manggungan tahun 2023 dan 2024. Berita itu membuat masyarakat menuntut penjelasan resmi
Dialog Panas di Balai Desa
Balai Desa Manggungan sore itu penuh sesak. Di satu sisi, warga berbaris sambil berteriak menuntut transparansi. Di sisi lain, Kepala Desa Dain berdiri di depan, mencoba menenangkan massa.
Suasana tegang, tapi tetap terkendali. Dain akhirnya berbicara menggunakan mikrofon, meminta warga untuk duduk bersama dan berdialog.
“Saya minta maaf kalau selama ini dianggap tidak terbuka. Tidak ada niat menyelewengkan dana desa. Mungkin ini hanya miskomunikasi,” katanya dengan suara pelan.
Beberapa warga tampak masih kesal, tapi sebagian lainnya mulai menurunkan nada emosinya. Dain menjelaskan, pemerintah desa sebenarnya telah menempelkan spanduk informasi APBDes di halaman luar balai desa. Namun, spanduk itu rusak karena hujan dan angin, dan kini dipasang kembali di dalam aula.
“Kami akan buka semua datanya, supaya tidak ada kesalahpahaman,” tambahnya
Peran Kecamatan: Jalan Tengah untuk Keterbukaan
Pihak Kecamatan Terisi turut hadir menenangkan situasi. Camat Terisi menyatakan bahwa aspirasi warga harus dihormati, dan transparansi adalah hak publik. Ia juga berjanji akan menyurati Inspektorat Kabupaten Indramayu untuk melakukan audit menyeluruh terhadap dana desa Manggungan.
Langkah itu disambut tepuk tangan warga yang merasa perjuangan mereka mulai mendapat perhatian.
 “Kalau audit dilakukan, berarti kita tidak salah menuntut. Kami hanya ingin tahu kebenaran,” ujar Nata lega.
Dari Demonstrasi Menuju Dialog
Aksi yang dimulai dengan teriakan dan ketegangan akhirnya berujung dengan kesepakatan. Warga, pemerintah desa, dan kecamatan sepakat melakukan pengecekan bersama terhadap pembangunan desa. Mereka ingin memastikan setiap anggaran benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Tak ada bentrok, tak ada kekerasan. Hanya suara rakyat yang ingin didengar. Di penghujung aksi, warga membubarkan diri dengan tertib setelah Kepala Desa berjanji memperbaiki pola komunikasi dan menyusun laporan penggunaan dana secara terbuka.
Refleksi: Ketika Transparansi Menjadi Nafas Demokrasi Desa
Peristiwa di Desa Manggungan menjadi cermin kecil dari tantangan besar yang dihadapi banyak desa di Indonesia. Dana desa, yang semestinya menjadi instrumen pembangunan, sering kali menjadi sumber salah paham karena kurangnya transparansi.
Bagi warga Manggungan, demonstrasi hari itu bukan sekadar protes, melainkan seruan moral untuk kejujuran.
“Kalau semua dibuka, tidak akan ada demo seperti ini,” kata seorang ibu yang membawa anaknya menonton aksi dari jauh.
Kini, setelah janji dibuka dan audit akan dilakukan, harapan baru tumbuh di tengah masyarakat. Mereka berharap, dari peristiwa ini, lahir budaya baru di pemerintahan desa: terbuka, jujur, dan mau dikritik.
Dari terik siang di Manggungan, kita belajar satu hal: kepercayaan rakyat tidak datang dari janji, tapi dari keberanian untuk transparan. Aksi hari itu bukan sekadar suara protes, tapi panggilan nurani — bahwa uang desa adalah milik bersama, dan rakyat berhak tahu ke mana arah setiap rupiahnya. (Mashadi)































